AJARAN CINTA SEJATI
Ia berkata, “Siapa itu berada di pintu?” Aku
berkata, “Hamba sahaya, Paduka.” Ia berkata, “Mengapa kau ke mari?” Aku
berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.” Ia berkata, “Berapa lama
kau bisa bertahan?” Aku berkata, “Sampai ada panggilan.” Aku pun menyatakan
cinta, aku mengambil sumpah Bahwa, demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.” Aku berkata, “Air mata
adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.” Ia berkata, “Saksi tidak sah,
matamu juling.” Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari
dosa.” Bait-bait syair bernuansa religius di atas adalah nukilan dari salah
satu puisi karya Jalaluddin ar-Rumi, penyair sufi terbesar dari Persia.
Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan
perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu,
puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah
–kedalaman makna dan keindahan bahasa–yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit
tertandingi oleh penyair sufi sebelum atau sesudahnya. Di kalangan para pecinta
sastra tasawuf, nama Jalaluddin ar-Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak
hanya diminati oleh masyarkat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu,
tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama
lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh
besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya. Rumi dilahirkan di Kota
Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H dan wafat di Kota Konya,
Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak kecil, ar-Rumi dan orang tuanya
terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya
pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki),
Laranda (Iran tenggara), dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah, sebagian
besar hidup ar-Rumi dihabiskan di Konya yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum
(Roma). Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang
berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiah–sebuah
tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat
Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang
pendewaan akal dan indra dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam
memang sedang dilanda penyakit itu. Cinta untuk Tuhan Ar-Rumi dikenal karena
kedalaman ilmu yang dimilikinya serta kemampuan dalam mengungkapkan perasaannya
dalam bentuk puisi yang sangat indah dan memiliki makna mistis yang sangat
dalam. Ia memilih puisi sebagai salah satu medium untuk mengajarkan cinta
sejati (Tuhan). Lirik-lirik puisinya banyak mengedepankan perasaan cinta yang
dalam kepada Tuhan. Maka itu, tak mengherankan jika ia mengungguli banyak
penyair sufi, baik sebelum maupun sesudahnya. Karya-karya puisi ar-Rumi juga
mengandung filsafat dan gambaran tentang inti tasawuf yang dianutnya.
Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah al-wujud (penyatuan wujud). Bagi
ar-Rumi, Tuhan adalah wujud yang meliputi. Keyakinan ini tidak selalu merupakan
keyakinan terhadap kesatuan wujud yang menyatakan bahwa segala seuatu itu
adalah Allah atau Allah adalah segala sesuatu. Kesatuan hamba dengan Tuhan,
dalam tasawuf ar-Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni. Pengetahuan
mengenai ajaran tasawuf tidak ia pelajari sejak usia dini. Masa kecilnya justru
lebih banyak dipergunakan Jalaluddin ar-Rumi untuk menimba ilmu agama, terutama
terkait dengan hukum Islam. Pendidikan pertama ar-Rumi diperolehnya dari
ayahnya sendiri, Bahauddin Walad Muhammad bin Husin, yang merupakan seorang
tokoh dan ahli agama Islam penganut Mazhab Hanafi. Selain itu, ia juga belajar
pada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Atas
saran gurunya ini, ia kemudian menimba ilmu pengetahuan di negeri Syam
(Suriah). Dengan pengetahuan agama yang luas, ar-Rumi dipercaya untuk
menggantikan Burhanuddin sebagai guru di Konya setelah sang guru wafat. Di
samping sebagai guru, ia juga menjadi dai dan ahli hukum Islam (fakih).
Perubahan besar dalam hidup ar-Rumi terjadi pada tahun 652 H. Di usianya yang
menginjak 48 tahun, ia mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan sufi setelah
bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana, Syamsuddin at-Tabrizi. Ia sangat
terpengaruh oleh ajaran sufi itu sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai
guru dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan sufi. Rumi telah
menjadi sufi berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan
kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna
mengenang dan menyanjung gurunya itu, Rumi menulis syair-syair yang himpunannya
kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz . Ia juga membukukan
wejangan-wejangan gurunya itu yang dikenal dengan nama Diwan Syams Tabriz .
Buku ini juga memuat inti ajaran tasawuf ar-Rumi. Di samping termuat dalam
Diwan Syams Tabriz , inti ajaran tasawuf ar-Rumi juga banyak dimuat dalam
sebuah karya besarnya yang terkenal, al-Masnawi . Buku ini terdiri atas enam
jilid dan berisi 20.700 bait syair. Karyanya ini berpengaruh besar terhadap
perkembangan tasawuf sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis
oleh para ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, dan Arab.
Al-Masnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pertama kali, buku ini
diterjemahkan ke bahasa Jerman pada tahun 1849. Namun, yang diterjemahkan hanya
sepertiga bagian dari keseluruhan isi Al-Masnawi . Hasil terjemahan dalam
bahasa Jerman ini diterbitkan di Kota Leipzig dan mengalami cetak ulang pada
tahun 1913. Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Sir James
Redhouse pertama kali diterbitkan pada tahun 1881. Kemudian, sebanyak 3.500
baris puisi pilihan dari Al-Masnawi diterjemahkan lagi oleh Whinfield ke dalam
bahasa Inggris. Terjemahan puisi pilihan yang terbit di London tahun 1887 ini
mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun itu juga dicetak ulang.
Volume kedua diterjemahkan oleh Wilson dan diterbitkan di London tahun 1910.
Baru pada tahun 1925 hingga 1950, proses penerjemahan buku Al-Masnawi dilakukan
secara menyeluruh oleh Reynold Alleyne Nicholson. Selain menerjemahkan buku
ini, Nicholson juga menambahkan uraian serta komentarnya untuk melengkapi
terjemahannya. Langkah Nicholson yang menerjemahkan karya ar-Rumi ini diikuti
oleh salah seorang muridnya, AJ Arberry, yang menerjemahkan sejumlah kisah
pilihan yang diterbitkan di London pada 1961. Teori kefanaan Di samping sebagai
penyair sufi yang menganut paham wahdad al-wujud , ar-Rumi juga merupakan
peletak dasar teori kefanaan. Pendapatnya tentang kefanaan tergambar dari
ungkapannya, ”Apakah arti ilmu tauhid? Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan
Yang Maha Esa. Seandainya kau ingin cemerlang sebagai siang hari, bakarlah
eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud
Pemelihara Wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya. Dengan begitu, kau
bisa mengendalikan genggamanmu atas ‘Aku’ dan ‘Kita’, di mana semua kehancuran
ini tidak lain timbul dari dualisme.” Sementara itu, suasana pada saat sedang
fana digambarkan oleh ar-Rumi sebagai berikut. ”Nuh berkata kepada bangsanya,
Aku bukanlah aku. Aku bukanlah tiada lain Tuhan itu sendiri. Apabila ke-aku-an
lenyap dari identitas insan, tinggallah Tuhan yang bicara, mendengar, dan
memahami. Apabila Aku bukanlah aku, adalah aku tiupan napas Tuhan. Adalah dosa
melihat kesatuan aku dengan-Nya.” Dalam pandangannya, setiap peristiwa kefanaan
selalu diikuti oleh baqa , yaitu tetapnya kesadaran sufi kepada Tuhan. Pada
saat sedang baqa , kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba. Kata
ar-Rumi, ”Kesadaran Tuhan lebur dalam kesadaran sufi. Bagaimana si awam
meyakininya. Pengetahuan sufi adalah garis dan pengetahuan Tuhan adalah titik.
Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.” sya/dia/berbagai
sumber Tarian berputar sang sufi Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi,
Jalaluddin ar-Rumi juga merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah.
Tarekat ini ia kembangkan bersama sahabatnya, Syekh Hisamuddin Hasan bin
Muhammad. Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah sebuah tarekat sufi yang
terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah. Di Barat, tarekat ini dikenal
dengan nama The Whirling Dervishes (para darwis yang berputar-putar). Nama itu
muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang
diiringi oleh gendang dan suling dalam zikir mereka untuk mencapai ekstase .
Menurut sebuah riwayat, tarian yang dilakukan oleh Ar-Rumi dilakukan tanpa
kesengajaan. Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa sedih
sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga Konya. Rumi
benar-benar merasakan kehilangan sang panutan, laksana kehidupan tanpa sinar
matahari. Hingga pada suatu hari, seorang pandai besi yang bernama Shalahuddin
membuat Rumi menari-nari berputar-putar sambil melantunkan syair-syair puitis
akan kecintaannya kepada Tuhan dan gurunya. Dari sinilah, Jalaluddin Ar-Rumi
menjalin persahabatan dengan Shalahuddin untuk menggantikan kedudukan sang
guru. Bersama Shalahuddin yang memukul gendang, Rumi pun menari dan menari
untuk mengungkapkan penghambaan dirinya dalam menghibur dan mendekatkan diri
pada Tuhan. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti
menari kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang
membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang
dicintai. Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai. Dari caranya menemukan
hakikat cinta untuk Tuhan, Kota Konya yang sempat sepi menjadi ramai kembali
berkat tarian-tarian cinta yang berputar untuk Tuhan. Bahkan, banyak
pengikut-pengikutnya di berbagai negara di dunia melakukan hal yang sama
sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru dalam menemukan Tuhan. Suatu hari,
Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad, bahwa Kota Konya akan menjadi
semarak. ”Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak dan makam kita tegak
di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.” Kini, perkataan Rumi itu terbukti. Setelah
sekian lama terlelap oleh sejarah, Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi.
”Kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,”
tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi. Kenyataannya memang
demikian. Lebih dari tujuh abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya,
terutama kepada pengikutnya, the whirling dervishes , para darwis yang menari.
Setiap tahun, pada 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari
delapan penjuru angin, mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727
tahun silam. Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar
di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? ”Dialah penyair
mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris, Reynold A Nicholson.
”Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia
Klasik, tentang karya Rumi, Al-Masnawi . Bahkan, cucu ar-Rumi, Sulthanul Auliya
Maulana Syekh Nazhim Adil al-Haqqani, kagum dengan kakeknya tersebut. Ia
berkata sebagai berikut. ”Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan. Saya
mencintainya dan saya mengaguminya, saya memilih jalannya, dan saya memalingkan
muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah. Oh , dia
adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta
yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini
adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan
memahaminya.”Itulah Jalaluddin a-Rumi, sang sufi penganut cinta sejati untuk
Tuhannya. Sumber : Republika Newsroom
;
No comments:
Post a Comment