Peran dan Fungsi Para Ulama
Peran dan fungsi strategis ulama dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama:
pewaris para nabi. Tentu, yang dimaksud dengan pewaris nabi adalah pemelihara
dan menjaga warisan para nabi, yakni wahyu/risalah, dalam konteks ini adalah
al-Quran dan Sunnah. Dengan kata lain, peran utama ulama sebagai pewaris
para nabi adalah menjaga agama Allah Swt. dari kebengkokan dan penyimpangan.
Hanya saja, peran ulama bukan hanya sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam,
baik yang menyangkut masalah akidah maupun syariah, tetapi juga bersama umat
berupaya menerapkan, memperjuangkan, serta menyebarkan risalah Allah.
Dalam
konteks saat ini, ulama bukanlah orang yang sekadar memahami dalil-dalil
syariah, kaidah istinbâth (penggalian), dan ilmu-ilmu
alat lainnya. Akan tetapi, ia juga terlibat dalam perjuangan untuk mengubah
realitas rusak yang bertentangan dengan warisan Nabi saw.
Kedua:
pembimbing, pembina dan penjaga umat. Pada dasarnya, ulama bertugas membimbing
umat agar selalu berjalan di atas jalan lurus. Ulama juga bertugas menjaga
mereka dari tindak kejahatan, pembodohan, dan penyesatan yang dilakukan oleh
kaum kafir dan antek-anteknya; melalui gagasan, keyakinan, dan sistem hukum
yang bertentangan dengan Islam.
Semua
tugas ini mengharuskan ulama untuk selalu menjaga kesucian agamanya dari semua
kotoran. Ulama juga harus mampu menjelaskan kerusakan dan kebatilan semua
pemikiran dan sistem kufur kepada umat Islam. Ia juga harus bisa
mengungkap tendensi-tendensi jahat di balik semua sepak terjang kaum kafir dan
antek-anteknya. Ini ditujukan agar umat terjauhkan dari kejahatan musuh-musuh
Islam.
Ketiga:
pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika ulama mampu
memahami konstelasi politik global dan regional. Ia juga mampu menyingkap makar
dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum Muslim. Dengan
ungkapan lain, seorang ulama harus memiliki visi politis-ideologis yang kuat,
hingga fatwa-fatwa yang ia keluarkan tidak hanya beranjak dari tinjauan
normatif belaka, tetapi juga bertumpu pada konteks ideologis-politis. Dengan
demikian, fatwa-fatwanya mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan
kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim. Misalnya,
fatwa yang dikeluarkan oleh syaikhul Islam mengenai bolehnya
kaum Muslim mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi dan perundang-undangan
Barat pada akhir Kekhilafahan Islam. Fatwa ini tidak hanya keliru,
tetapi juga menjadi penyebab kehancuran Khilafah Islamiyah. Fatwa ini muncul
karena lemahnya visi politis-ideologis ulama pada saat itu.
Keempat: sumber
ilmu. Ulama adalah orang yang fakih dalam masalah halal-haram. Ia adalah
rujukan dan tempat menimba ilmu sekaligus guru yang bertugas membina umat agar
selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, peran
sentralnya adalah mendidik umat dengan akidah dan syariah Islam. Dengan begitu,
umat memiliki kepribadian Islam yang kuat; mereka juga berani mengoreksi
penyimpangan masyarakat dan penguasa.
Inilah
peran dan fungsi sentral ulama di tengah-tengah masyarakat. Hanya saja,
sekularisasi dan demokratisasi telah memberangus fungsi dan peran ulama di
atas, sekaligus meminggirkan mereka dari urusan negara dan masyarakat.
Sebelum jauh membicarakan Ulama akan lebih relevan jika dibahas apa sebernya ulama? siapa yang berhak disebut Ulama yang konon Pewaris Nabi itu?
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata dasar:’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu. Dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu.
Al-Quran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama,
Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Al-Quran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[oran yang berilmu]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir: 28)
Sedangkan di dalam hadits nabi disebutkan bahwa para ulama adalah orang-orang yang dijadikan peninggalan dan warisan oleh para nabi.
Dan para ulama adalah warisan (peninggalan) para nabi. Para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar (emas), dirham (perak), tetapi mereka meninggalkan warisan berupa ilmu.(HR Ibnu Hibban dengan derajat yang shahih).
Jika ulama disebut sebagai orang yang mempunyai ilmu, maka bisa jadi seorang teroris disebut juga ulama atau einstein yang sudah jelas diakui oleh dunia keilmuannya disebut juga Ulama. Perlu adanya spesifikasi yang jelas mengenai siapa yang berhak menyandang gelar ulama ialah orang yang mempunyai ilmu disertai dengan pengetahuan spiritual yang tinggi yang paling penting ialah ilmu yang digunakan untuk kemaslahatan bukan untuk kemudaratan.
Pada dasarnya seorang Ulama akan tidak menyenangi dengan predikat yang disandangnya, Ulama bukan predikat yang asal melainkan perlu tanggung jawab yang sangat besar dikarenakan segala bentuk ucapan dan perbuatannya akan langsung dinilai oleh umat.
Sekian coretan yang dapat ditulis semoga dapat bermanfaat.
Kata terakhir
No comments:
Post a Comment