Tuesday, 2 October 2012

HAJI YANG SIA SIA




Umat Islam diwajibkan melaksanakan ibadah haji pada bulan dzulhijah bagi yang “mampu” merupakan rukun islam yang kelima setelah wajib melaksanakan puasa dibulan Ramadlan. Dasar hukum yang mewajibkan ibadah haji yaitu Surat al hajj ayat 27 .
Fenomena ibadah haji dimulai dari sekitar 3600 tahun silam pada zaman Nabi Ibrahim, beliaulah yang membangun ka’bah bangunan berbentuk kubus di wilayah mekkah. Bangunan itu dipercaya sebagai bangunan suci juga bisa dikatakan rumah Allah menurut umat islam. Ibadah haji merupakan rangkaian ibadah yang caranya sudah tertera dalam kitab-kitab fikih yang bersumber dari al-Quran dan hadis.
Tulisan ini tidak akan menerangkan rangkaian ibadah haji, yang perlu digaris bawahi adalah hakikat ibadah haji sendiri, berbondong-bondong manusia dari belahan dunia menuju mekkah memliki tujuan yang sama yakni untuk beribadah haji, namun apakah mereka semua sudah pantas untuk melaksanakan ibadah haji tersebut itulah pertanyaan yang sangat mendasar ditujukan bagi umat muslim yang hendak melaksanakan ibadah haji.
Semua umat muslim mengetahui haji merupakan rukun islam yang terakhir, dengan catatan bagi yang mampu untuk menjalaninya para ulama banyak mengartikan mampu tersebut ialah mampu dalam hal materi juga mampu dalam hal fisik tidak lebih dari sebatas hal yang bersifat psikologi juga materil, hampir tidak ada pembahasan yang lebih mendalam mengenai ibadah haji terdapat pada urutan terakhir dari rukun islam.
Mari telaah lebih jauh mengenai urutan the five principle (lima rukun islam).
1.      MEMBACA DUA KALIMAT SYAHADAT/BERSYAHADAT.


Syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida (شهد), yang artinya ia telah menyaksikan. Kalimat itu dalam syariat Islam adalah sebuah pernyataan kepercayaan dalam keesaan Tuhan (Allah) dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya.
Syahadat sering disebut dengan Syahadatain karena terdiri dari 2 kalimat (Dalam bahasa arab Syahadatain berarti 2 kalimat Syahadat). Kedua kalimat syahadat itu adalah:
  • Kalimat pertama :

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah
artinya : Saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah
  • Syahadat2.gif
    Kalimat kedua :

Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah

Bahwa setiap orang islam akan bersyahadat sebagai gerbang utama melaksanakan syariat islam, syahadat ibarat pondasi langkah awal ketika hendak membangun sebuah bangunan maka hendaknya buatlah pondasi itu kokoh, teguh agar tidak mudah rapuh dari berbagai macam guncangan, bagaimana trik membuat pondasi yang kokoh.
Mari kita renungkan:
Makna syahadat
  • Pengakuan ketauhidan.
    Artinya, seorang muslim hanya mempercayai Allâh sebagai satu-satunya Allah dan tiada tuhan yang lain selain Allah. Allah adalah Tuhan dalam arti sesuatu yang menjadi motivasi atau menjadi tujuan seseorang. Jadi dengan mengikrarkan kalimat pertama, seorang muslim memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allâh sebagai tujuan, motivasi, dan jalan hidup.
  • Pengakuan kerasulan.
    Dengan mengikrarkan kalimat ini seorang muslim memantapkan diri untuk meyakini ajaran Allâh seperti yang disampaikan melalui Muhammad saw, seperti misalnya meyakini hadist-hadis Muhammad saw.
Makna Laa Ilaaha Illallah
Kalimat Laa Ilaaha Illallah sebenarnya mengandung dua makna, yaitu makna penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah, dan makna menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanyalah Allah semata.
Berkaitan dengan mengilmui kalimat ini Allah ta'ala berfirman: "Maka ketahuilah(ilmuilah) bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah" (QS Muhammad : 19)
Berdasarkan ayat ini, maka mengilmui makna syahadat tauhid adalah wajib dan mesti didahulukan daripada rukun-rukun Islam yang lain. Di samping itu Rasulullah pun menyatakan: "Barang siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas maka akan masuk ke dalam surga."
Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah mereka yang memahami, mengamalkan dan mendakwahkan kalimat tersebut sebelum yang lainnya, karena di dalamnya terkandung tauhid yang Allah menciptakan alam karenanya. Rasul mengajak paman beliau Abu Thalib, Ketika maut datang kepada Abu Thalib dengan ajakan "wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah sebuah kalimat yang aku akan jadikan ia sebagai hujah di hadapan Allah" namun Abu Thalib enggan untuk mengucapkan dan meninggal dalam keadaan musyrik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal selama 13 tahun di makkah mengajak orang-orang dengan perkataan beliau "Katakan Laa Ilaaha Illallah" maka orang kafir pun menjawab "Beribadah kepada sesembahan yang satu, kami tidak pernah mendengar hal yang demikian dari orang tua kami". Orang qurays di zaman nabi sangat paham makna kalimat tersebut, dan barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan menyeru/berdoa kepada selain Allah.

Inti syahadat
Inilah sekilas tentang makna Laa Ilaaha Illallah yang pada intinya adalah pengakuan bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah ta'ala semata.
Kandungan syahadat
  • Ikrar
Ikrar yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya.Ketika seseorang mengucapkan kalimat syahadah, maka ia memiliki kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang ia ikrarkan itu.
  • Sumpah
Syahadat juga bermakna sumpah. Seseorang yang bersumpah, berarti dia bersedia menerima akibat dan risiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Artinya, Seorang muslim itu berarti siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam.
  • Janji
Syahadat juga bermakna janji. Artinya, setiap muslim adalah orang-orang yang berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT, yang terkandung dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasul.
Syarat syahadat
Syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya maka yang disyaratkannya itu tidak sempurna. Jadi jika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadatnya itu tidak sah.
Syarat syahadat ada tujuh, yaitu:
  • Pengetahuan
Seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya.
  • Keyakinan
Seseorang yang bersyahadat mesti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut.
  • Keikhlasan
Ikhlas berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang bertentangan dengan makna syahadat. Ucapan syahadat yang bercampur dengan riya atau kecenderungan tertentu tidak akan diterima oleh Allah SWT.
  • Kejujuran
Kejujuran adalah kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Pernyataan syahadat harus dinyatakan dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan.
  • Kecintaan
Kecintaan berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Cinta juga harus disertai dengan amarah yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW.
  • Penerimaan
Penerimaan berarti penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam. Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Al Qur'an dan Sunnah Rasul.
  • Ketundukan
Ketundukan yaitu tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Artinya, seorang muslim yang bersyahadat harus mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Perbedaan antara penerimaan dengan ketundukan yaitu bahwa penerimaan dilakukan dengan hati, sedangkan ketundukan dilakukan dengan fisik.Oleh karena itu, setiap orang yang bersyahadat tidak harus disaksikan amirnya dan selalu siap melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.
Setelah mencermati makna dari syahadat dan ditanamkan dalam hati maka akan timbul dalam diri untuk beribadah sebagai tindak lanjut dari pengakuan seorang hamba terhadap Tuhan dan Rosulnya, sholat sebagai implikasi dari pernuyataan penyerahan diri kepada dzat Tunggal sebagai rukun islam yang kedua.

2.      SHOLAT
Secara bahasa salat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti, doa. Sedangkan, menurut istilah, salat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Salat yang mula-mula diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya adalah Salat Malam, yaitu sejak diturunkannya Surat al-Muzzammil (73) ayat 1-19. Setelah beberapa lama kemudian, turunlah ayat berikutnya, yaitu ayat 20:
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan turunnya ayat ini, hukum Salat Malam menjadi sunah. Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya berkata mengenai ayat 20 ini, "Sesungguhnya ayat ini menghapus kewajiban Salat Malam yang mula-mula Allah wajibkan bagi umat Islam.
Sudah jelas bahwa sholat ialah hal yang urgen, sarana komunikasi hamba dengan Tuhan. Allah menjelaskan “Sholat ialah tiang agama”, sangat betul bahwa setelah kita membangun pondasi dengan bersyahadat tentunya kita akan membangun tiang sebagai penyanggah bangunan yang akan kita buat, maka buatlah tiang itu kokoh dan teguh agar tidak mudah rapuh tetap kuat walau diterpa guncangan yang dahsyat sekalipun.
Implementasi dari sholat yang istiqomah terwujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari, terpancar cahaya dari dalam diri terbuktilah bahwa “sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”, setelah pengamalan sholat diperlukan pembersihan jiwa melalui zakat dan puasa sebagai rukun islam yang ketiga dan keempat.
3.      ZAKAT
Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dari Rukun Islam.
Zakat telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah, kita lanjutkan kerukun islam yang keempat yaitu:

4.      PUASA
Puasa adalah tindakan sukarela dengan berpantang dari makanan, minuman, atau keduanya, perbuatan buruk dan dari segala hal yang membatalkan puasa untuk periode waktu tertentu. Puasa mutlak biasanya didefinisikan sebagai berpantang dari semua makanan dan cairan untuk periode tertentu, biasanya satu hari (24 jam), atau beberapa hari. Puasa lain mungkin hanya membatasi sebagian, membatasi makanan tertentu atau zat. Praktik puasa dapat menghalangi aktivitas seksual dan lainnya serta makanan
Dalam Islam, puasa (disebut juga shaum), dilakukan selama satu bulan penuh, yakni bulan Ramadan dan ditutup dengan Hari Raya Lebaran, menahan diri dari makan dan minum dan dari segala perbuatan yang boleh membatalkan puasa seperti perbuatan-perbuatan yang tidak baik termasuk dalam perkataan, tidak bertengkar, menjaga pola pikir, hawa nafsu, dan juga untuk melatih kesabaran, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat. Sesuai perintah dalam kitab suci umat islam Al Quran puasa juga menolong menanam sikap yang baik. Dan kesemuanya itu diharapkan berlanjut ke bulan-bulan berikutnya, dan tidak hanya pada bulan puasa.
Zakat dan puasa sarana melatih jiwa agar lebih bijak mampu mengontrol diri (self guider), dan banyak lagi keutamaan dari ibadah zakat dan puasa, ibarat bangunan zakat dan puasa ialah kusen dan tembok, setelah membangun pondasi dengan syahadat juga mendirikan tiang agama dengan sholat perlu untuk menambah bangunan itu dengan tembok dan kusen-kusen. Setelah terpenuhi maka tinggal proses finishing sebuah banguna itu yaitu mebuat atap sebagai peneduh dan penutup dari bangunan tersebut, atap itu ialah berhaji.

5.      HAJI
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
Inilah yang paling didamba-dambakan oleh umat islam diseluruh penjuru dunia, mengunjungi rumah Allah, di Indonesia pemberangkatan haji diatur oleh pemerintah dalam hal ini pihak penyelenggara haji, umat islam di Indonesia jika hendak berhaji maka harus daftar terlebih dahulu ke pihak penyelenggara haji, karena yang berangkat haji ditentukan quotanya maka tidak menutup kemungkinan yang daftar berangkat haji hari ini akan kebagian berangkat dua tahun kemudian atau bahkan lebih dari dua tahun kenudian.
Fenomena pemberangkatan haji dikalangan masyarakat banyak sekali terdapat keunikan mulai dari menjual benda yang mereka miliki sampai ada yang nekad berhutang demi keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji. Sungguh sangat ironi berhaji yang diwajibkan bagi yang mampu kini terkesan dipaksakan alih-alih mendapat gelar dengan sebutan haji dan akan tertera huruf H sebelum namaya, itulah ibadah haji yang sia-sia apa yang mereka dapatkan hanya ketenaran dan nafsu dunia belaka.
Bagi para pembaca yakinlah Allah pasti akan memanggil kita untuk berhaji jika empat pilar dalam rukun islam sebelum berhaji dijalankan dengan sepenuh hati sesuai dengan tuntunan tidak menyimpang dari apa yang sudah ditentukan oleh Al-Quran dan Sunnah, kita mengetahui bahwa rukun islam itu berkesinambungan yang jika yang pertama belum dipenuhi maka ibadah yang kedua akan sia-sia begitupun seterusnya, maka tanamkanlah rukun islam dengan segenap jiwa dan raga.

SALAM  HORMAT 

Monday, 1 October 2012

AJARAN CINTA SEJATI




Ia berkata, “Siapa itu berada di pintu?” Aku berkata, “Hamba sahaya, Paduka.” Ia berkata, “Mengapa kau ke mari?” Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.” Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?” Aku berkata, “Sampai ada panggilan.” Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah Bahwa, demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan. Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.” Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.” Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.” Aku berkata, “Karena wibawa keadilanmu, mataku terbebas dari dosa.” Bait-bait syair bernuansa religius di atas adalah nukilan dari salah satu puisi karya Jalaluddin ar-Rumi, penyair sufi terbesar dari Persia. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah –kedalaman makna dan keindahan bahasa–yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum atau sesudahnya. Di kalangan para pecinta sastra tasawuf, nama Jalaluddin ar-Rumi tidak asing lagi. Karya-karyanya tidak hanya diminati oleh masyarkat Muslim, tetapi juga masyarakat Barat. Karena itu, tak mengherankan jika karya sang penyair sufi dari Persia (Iran) yang bernama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi ini berpengaruh besar terhadap perkembangan ajaran tasawuf sesudahnya. Rumi dilahirkan di Kota Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H dan wafat di Kota Konya, Turki, pada 17 Desember 1273 M/672 H. Sejak kecil, ar-Rumi dan orang tuanya terbiasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pernah tinggal di Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Makkah, Malatya (Turki), Laranda (Iran tenggara), dan Konya. Meski hidup berpindah-pindah, sebagian besar hidup ar-Rumi dihabiskan di Konya yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Tarekat Maulawiah–sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indra dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Cinta untuk Tuhan Ar-Rumi dikenal karena kedalaman ilmu yang dimilikinya serta kemampuan dalam mengungkapkan perasaannya dalam bentuk puisi yang sangat indah dan memiliki makna mistis yang sangat dalam. Ia memilih puisi sebagai salah satu medium untuk mengajarkan cinta sejati (Tuhan). Lirik-lirik puisinya banyak mengedepankan perasaan cinta yang dalam kepada Tuhan. Maka itu, tak mengherankan jika ia mengungguli banyak penyair sufi, baik sebelum maupun sesudahnya. Karya-karya puisi ar-Rumi juga mengandung filsafat dan gambaran tentang inti tasawuf yang dianutnya. Tasawufnya didasarkan pada paham wahdah al-wujud (penyatuan wujud). Bagi ar-Rumi, Tuhan adalah wujud yang meliputi. Keyakinan ini tidak selalu merupakan keyakinan terhadap kesatuan wujud yang menyatakan bahwa segala seuatu itu adalah Allah atau Allah adalah segala sesuatu. Kesatuan hamba dengan Tuhan, dalam tasawuf ar-Rumi, dipatrikan oleh rasa cinta yang murni. Pengetahuan mengenai ajaran tasawuf tidak ia pelajari sejak usia dini. Masa kecilnya justru lebih banyak dipergunakan Jalaluddin ar-Rumi untuk menimba ilmu agama, terutama terkait dengan hukum Islam. Pendidikan pertama ar-Rumi diperolehnya dari ayahnya sendiri, Bahauddin Walad Muhammad bin Husin, yang merupakan seorang tokoh dan ahli agama Islam penganut Mazhab Hanafi. Selain itu, ia juga belajar pada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi, seorang tokoh dan sahabat ayahnya. Atas saran gurunya ini, ia kemudian menimba ilmu pengetahuan di negeri Syam (Suriah). Dengan pengetahuan agama yang luas, ar-Rumi dipercaya untuk menggantikan Burhanuddin sebagai guru di Konya setelah sang guru wafat. Di samping sebagai guru, ia juga menjadi dai dan ahli hukum Islam (fakih). Perubahan besar dalam hidup ar-Rumi terjadi pada tahun 652 H. Di usianya yang menginjak 48 tahun, ia mengubah jalan hidupnya ke arah kehidupan sufi setelah bertemu dengan seorang penyair sufi pengelana, Syamsuddin at-Tabrizi. Ia sangat terpengaruh oleh ajaran sufi itu sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi serta memasuki kehidupan sufi. Rumi telah menjadi sufi berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, Rumi menulis syair-syair yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams Tabriz . Ia juga membukukan wejangan-wejangan gurunya itu yang dikenal dengan nama Diwan Syams Tabriz . Buku ini juga memuat inti ajaran tasawuf ar-Rumi. Di samping termuat dalam Diwan Syams Tabriz , inti ajaran tasawuf ar-Rumi juga banyak dimuat dalam sebuah karya besarnya yang terkenal, al-Masnawi . Buku ini terdiri atas enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Karyanya ini berpengaruh besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya. Banyak komentar terhadap buku ini yang ditulis oleh para ahli dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, dan Arab. Al-Masnawi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Pertama kali, buku ini diterjemahkan ke bahasa Jerman pada tahun 1849. Namun, yang diterjemahkan hanya sepertiga bagian dari keseluruhan isi Al-Masnawi . Hasil terjemahan dalam bahasa Jerman ini diterbitkan di Kota Leipzig dan mengalami cetak ulang pada tahun 1913. Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Sir James Redhouse pertama kali diterbitkan pada tahun 1881. Kemudian, sebanyak 3.500 baris puisi pilihan dari Al-Masnawi diterjemahkan lagi oleh Whinfield ke dalam bahasa Inggris. Terjemahan puisi pilihan yang terbit di London tahun 1887 ini mendapat perhatian besar dari masyarakat sehingga tahun itu juga dicetak ulang. Volume kedua diterjemahkan oleh Wilson dan diterbitkan di London tahun 1910. Baru pada tahun 1925 hingga 1950, proses penerjemahan buku Al-Masnawi dilakukan secara menyeluruh oleh Reynold Alleyne Nicholson. Selain menerjemahkan buku ini, Nicholson juga menambahkan uraian serta komentarnya untuk melengkapi terjemahannya. Langkah Nicholson yang menerjemahkan karya ar-Rumi ini diikuti oleh salah seorang muridnya, AJ Arberry, yang menerjemahkan sejumlah kisah pilihan yang diterbitkan di London pada 1961. Teori kefanaan Di samping sebagai penyair sufi yang menganut paham wahdad al-wujud , ar-Rumi juga merupakan peletak dasar teori kefanaan. Pendapatnya tentang kefanaan tergambar dari ungkapannya, ”Apakah arti ilmu tauhid? Hendaklah kau bakar dirimu di hadapan Yang Maha Esa. Seandainya kau ingin cemerlang sebagai siang hari, bakarlah eksistensimu (yang gelap) seperti malam; dan luluhkan wujudmu dalam Wujud Pemelihara Wujud, seperti luluhnya tembaga dalam adonannya. Dengan begitu, kau bisa mengendalikan genggamanmu atas ‘Aku’ dan ‘Kita’, di mana semua kehancuran ini tidak lain timbul dari dualisme.” Sementara itu, suasana pada saat sedang fana digambarkan oleh ar-Rumi sebagai berikut. ”Nuh berkata kepada bangsanya, Aku bukanlah aku. Aku bukanlah tiada lain Tuhan itu sendiri. Apabila ke-aku-an lenyap dari identitas insan, tinggallah Tuhan yang bicara, mendengar, dan memahami. Apabila Aku bukanlah aku, adalah aku tiupan napas Tuhan. Adalah dosa melihat kesatuan aku dengan-Nya.” Dalam pandangannya, setiap peristiwa kefanaan selalu diikuti oleh baqa , yaitu tetapnya kesadaran sufi kepada Tuhan. Pada saat sedang baqa , kesadaran akan Tuhan melandasi kesadaran seorang hamba. Kata ar-Rumi, ”Kesadaran Tuhan lebur dalam kesadaran sufi. Bagaimana si awam meyakininya. Pengetahuan sufi adalah garis dan pengetahuan Tuhan adalah titik. Eksistensi garis amat tergantung pada eksistensi titik.” sya/dia/berbagai sumber Tarian berputar sang sufi Selain dikenal sebagai seorang penyair sufi, Jalaluddin ar-Rumi juga merupakan pendiri Tarekat Maulawiah atau Jalaliah. Tarekat ini ia kembangkan bersama sahabatnya, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Tarekat Maulawiyah atau Jalaliah adalah sebuah tarekat sufi yang terkenal dan banyak dianut di Turki dan Suriah. Di Barat, tarekat ini dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para darwis yang berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar yang diiringi oleh gendang dan suling dalam zikir mereka untuk mencapai ekstase . Menurut sebuah riwayat, tarian yang dilakukan oleh Ar-Rumi dilakukan tanpa kesengajaan. Tarian itu justru dilakukannya ketika dirinya merasa sedih sepeninggal gurunya, Syamsuddin Tabriz, yang dibunuh oleh warga Konya. Rumi benar-benar merasakan kehilangan sang panutan, laksana kehidupan tanpa sinar matahari. Hingga pada suatu hari, seorang pandai besi yang bernama Shalahuddin membuat Rumi menari-nari berputar-putar sambil melantunkan syair-syair puitis akan kecintaannya kepada Tuhan dan gurunya. Dari sinilah, Jalaluddin Ar-Rumi menjalin persahabatan dengan Shalahuddin untuk menggantikan kedudukan sang guru. Bersama Shalahuddin yang memukul gendang, Rumi pun menari dan menari untuk mengungkapkan penghambaan dirinya dalam menghibur dan mendekatkan diri pada Tuhan. Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah berhenti menari kerana dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai. Bagian hanya Allah yang layak untuk dicintai. Dari caranya menemukan hakikat cinta untuk Tuhan, Kota Konya yang sempat sepi menjadi ramai kembali berkat tarian-tarian cinta yang berputar untuk Tuhan. Bahkan, banyak pengikut-pengikutnya di berbagai negara di dunia melakukan hal yang sama sebagai bentuk kecintaan kepada sang guru dalam menemukan Tuhan. Suatu hari, Rumi pernah berkata kepada anaknya, Sultan Walad, bahwa Kota Konya akan menjadi semarak. ”Akan tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak dan makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita, menggemakan ucapan-ucapan kita.” Kini, perkataan Rumi itu terbukti. Setelah sekian lama terlelap oleh sejarah, Kota Konya hidup kembali berkat sang sufi. ”Kota Anatolia Tengah ini tetap berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi. Kenyataannya memang demikian. Lebih dari tujuh abad, Rumi bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama kepada pengikutnya, the whirling dervishes , para darwis yang menari. Setiap tahun, pada 2-17 Desember, jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan penjuru angin, mereka berarak untuk memperingati kematian Rumi, 727 tahun silam. Siapakah sesungguhnya manusia yang telah menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan Islam dan silang sengketa paham? ”Dialah penyair mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis Inggris, Reynold A Nicholson. ”Ia bukan nabi, tetapi ia mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia Klasik, tentang karya Rumi, Al-Masnawi . Bahkan, cucu ar-Rumi, Sulthanul Auliya Maulana Syekh Nazhim Adil al-Haqqani, kagum dengan kakeknya tersebut. Ia berkata sebagai berikut. ”Dia adalah orang yang tidak mempunyai ketiadaan. Saya mencintainya dan saya mengaguminya, saya memilih jalannya, dan saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih yang abadi. Dia adalah orang yang saya cintai, dia begitu indah. Oh , dia adalah yang paling sempurna. Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.”Itulah Jalaluddin a-Rumi, sang sufi penganut cinta sejati untuk Tuhannya. Sumber : Republika Newsroom
 
;